Sabtu, 06 Oktober 2012

Aturan Ukuran Rumah Minimal 36 M² Inkonstitusional

Mahkamah Konstitusi menyatakan aturan ukuran rumah minimal seluas 36 meter persegi dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman bertentangan dengan UUD 1945. Amar putusan dengan Nomor 14/PUU-X/2012 ini dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD didampingi oleh delapan hakim konstitusi lainnya. “Menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar Mahfud membacakan putusan permohonan yang diajukan oleh Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (DPP APERSI) tersebut. Hakim Konstitusi Muhammad Alim menjelaskan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman merupakan salah satu aspek pembangunan nasional, pembangunan manusia seutuhnya, sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan terpenuhinya hak konstitusional tersebut, yang juga merupakan pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang memiliki peran strategis dalam pembentukan watak dan kepribadian warga negara sebagai upaya pencapaian salah satu tujuan pembangunan bangsa Indonesia yang berjati diri, mandiri, dan produktif. Sebagai salah satu upaya pemenuhan hak konstitusional, lanjut Alim, penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman adalah wajar dan bahkan merupakan keharusan, manakala penyelenggaraan dimaksud harus memenuhi syarat-syarat tertentu, antara lain, syarat kesehatan dan kelayakan serta keterjangkauan oleh daya beli masyarakat, terutama masyarakat yang berpenghasilan rendah. “Terkait dengan syarat keterjangkauan oleh daya beli masyarakat, terutama masyarakat yang berpenghasilan rendah, menurut Mahkamah, Pasal 22 ayat (3) UU 1/2011, yang mengandung norma pembatasan luas lantai rumah tunggal dan rumah deret berukuran paling sedikit 36 meter persegi, merupakan pengaturan yang tidak sesuai dengan pertimbangan keterjangkauan oleh daya beli sebagian masyarakat, terutama masyarakat yang berpenghasilan rendah,” urainya. Selain itu, Alim menambahkan implikasi hukum dari ketentuan tersebut berarti melarang penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman membangun rumah tunggal atau rumah deret yang ukuran lantainya kurang dari ukuran 36 meter persegi. Hal tersebut, jelas Alim, berarti pula telah menutup peluang bagi masyarakat yang daya belinya kurang atau tidak mampu untuk membeli rumah sesuai dengan ukuran minimal tersebut. Lagipula, daya beli masyarakat yang berpenghasilan rendah, antara satu daerah dengan daerah yang lain, adalah tidak sama. Demikian pula harga tanah dan biaya pembangunan rumah di suatu daerah dengan daerah yang lain berbeda. “Oleh karena itu, menyeragamkan luas ukuran lantai secara nasional tidaklah tepat. Selain itu, hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta hak memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana dipertimbangkan di atas adalah salah satu hak asasi manusia yang pemenuhannya tidak semata-mata ditentukan oleh luas ukuran lantai rumah atau tempat tinggal, akan tetapi ditentukan pula oleh banyak faktor, terutama faktor kesyukuran atas karunia yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa,” paparnya. Kemudian, Alim menguraikan bahwa hak bertempat tinggal, hak milik pribadi juga adalah salah satu hak asasi manusia. Suatu tempat tinggal, misalnya rumah, dapat berupa rumah sewa, dapat juga berupa rumah milik pribadi. “Seandainya rezeki yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa barulah cukup untuk membangun/memiliki rumah yang luas lantainya kurang dari 36 meter persegi, pembentuk Undang-Undang tidak dapat memaksanya membangun demi memiliki rumah yang luas lantainya paling sedikit 36 meter persegi, sebab rezeki yang bersangkutan baru mencukupi untuk membangun rumah yang kurang dari ukuran tersebut. Berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon beralasan menurut hukum,” urainya. Aspek Kesehatan dan Kelayakan Jauh Lebih Penting Dalam putusan tersebut, Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Menurut Hamdan, dalam rangka melindungi dan memenuhi hak-hak ekonomi dan sosial warganya, negara tidak dapat membiarkan kebebasan untuk membangun rumah yang tidak sehat di bawah standar minimal yang ditentukan, apalagi rumah tersebut adalah perumahan yang dibangun dengan fasilitas negara. Di situlah tanggung jawab negara dan kewajiban konstitusionalnya menjamin pemenuhan hak konstitusional warganya untuk bertempat tinggal pada lingkungan yang layak dan sehat. Dengan adanya luas minimum yang ditentukan undang-undang tersebut, juga mengandung konsekuensi negara menjamin pula kemudahan dan keterjangkauan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) untuk mendapatkan rumah, dengan memberikan subsidi, fasilitas dan kemudahan mendapatkan rumah. Oleh karena itu, lanjut Hamdan, jika dikaitkan dengan persoalan keterjangkauan daya beli masyarakat dan ukuran luas adalah dua hal yang tidak selalu relevan. Hal yang paling pokok adalah ukuran harga rumah yang terjangkau bukan ukuran rumah yang kecil. Artinya dengan jaminan undang-undang minimal luas lantai rumah tunggal dan rumah deret minimal 36 meter persegi, mengandung makna pula bahwa negara berkewajiban memberi kemudahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk mendapatkan rumah dengan berbagai fasilitas dan kemudahan. Ukuran keterjangkauan sangat relatif, karena seberapa pun kecilnya rumah yang dianggap terjangkau juga tidak bisa menjamin bahwa seluruh atau sebagian besar rakyat Indonesia dapat memiliki rumah, karena adanya perbedaan tingkat pendapatan masyarakat. Hal itu sangat tergantung pada tingkat harga rumah, bukan pada besar kecilnya rumah, walaupun luas berpengaruh terhadap harga. “Jadi menurut saya, hal paling utama yang harus dijamin oleh Pemerintah adalah aspek kesehatan dan kelayakan tempat tinggal yang sehat agar manusia Indonesia tumbuh baik dan sehat. Rumah terjangkau tetapi tidak sehat, adalah bentuk pengabaian negara terhadap hak konstitusional setiap orang untuk mendapatkan tempat tinggal yang baik dan sehat. Mengadakan rumah yang terjangkau tetapi tidak sehat, sama saja membiarkan rakyat hidup secara tidak layak dan tidak sehat,” tandasnya

Putusan PHPU Puncak Jaya: MK Nyatakan Pasangan Henok Ibo dan Yustus Wonda Peroleh Suara Terbanyak

Mahkamah Konstitusi telah memutuskan perolehan suara akhir dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Kabupaten Puncak Jaya, Papua. Hasilnya, Pasangan Calon Nomor Urut 2, Henok Ibo dan Yustus Wonda memperoleh suara terbanyak dalam Pemilukada Puncak Jaya 2012. Mahkamah menyatakan, pasangan ini memperoleh sebanyak 71.990 suara. Perolehan ini mengungguli dua pasangan calon lainnya. Demikian hal itu dituangkan Mahkamah Konstitusi dalam amar Putusan No. 39/PHPU.D-X/2012 yang dbacakan pada Rabu (26/9) di Ruang Sidang Pleno MK. Untuk dua calon lainnya, yakni Pasangan Calon Nomor Urut 1 Sendius Wonda dan Yorin Karoba mendapat suara sebanyak 8.385 suara, sedangkan Pasangan Calon Nomor Urut 3 Agus Kogoya dan Yakob Enumbi memperoleh 61.231 suara. Putusan tersebut, ujar Mahkamah, diperoleh setelah mengkaji seluruh fakta persidangan dan memeriksa bukti-bukti yang diajukan para pihak. “Mahkamah telah membuka sidang lanjutan pada hari Senin, tanggal 10 September 2012, untuk mendengarkan laporan dari Termohon, Komisi Pemilihan Umum Provinsi Papua, Komisi Pemilihan Umum Pusat, Panwaslu Kabupaten Puncak Jaya, Bawaslu, dan Kapolres Puncak Jaya,” papar Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya. Berdasarkan fakta dalam persidangan, Mahkamah meyakini, kesepakatan masyarakat enam kampung Distrik Mewoluk bersama kepala suku, tokoh adat/masyarakat, tokoh perempuan, serta tokoh pemuda yang telah ditunjuk secara resmi oleh masyarakat masing-masing kampung dari 27 TPS untuk mewakili dalam melempar/menyampaikan suara pada 6 Agustus 2012 adalah murni kesepakatan masyarakat di Distrik Mewoluk untuk menentukan perolehan suara masing-masing kandidat. “Kesepakatan tersebut dilakukan sesuai adat yang lazim dilakukan oleh masyarakat setempat, khususnya dalam kaitan dengan pemilihan umum,” tegas Mahkamah. Untuk perolehan suara masing-masing pasangan calon di Distrik Mewoluk, menurut Mahkamah, adalah sebagai berikut: Paslon Urut 1 memperoleh 122 suara, Paslon Urut 2 memperoleh 14.130 suara, dan Paslon Urut 3 memperoleh 142 suara. Hasil ini diperoleh pasca pemungutan suara ulang berdasarkan putusan MK bertanggal 6 Juli 2012. Adapun terkait keberatan Pemohon (Pasangan No. Urut 3), menurut Mahkamah, dalil tersebut tidak dibuktikan dengan alat-alat bukti yang meyakinkan. “Mahkamah tidak menemukan bukti yang meyakinkan bahwa Pihak Terkait telah benar-benar menghadirkan massa dari luar Distrik Mewoluk yang memberikan suara sebanyak 14.394 suara untuk Pihak Terkait dengan membawa papan tripleks tandingan,” ujar Mahkamah. Selain itu, menurut Mahkamah, bukti perolehan suara yang tertera pada papan tripleks diragukan validitasnya oleh karena bukti tripleks tersebut tidak dibuktikan oleh bukti-bukti lain menurut hukum. “Dengan demikian, berdasarkan penilaian dan fakta hukum tersebut, Mahkamah berpendapat keberatan Pasangan Calon Nomor Urut 3 tidak beralasan menurut hukum,” tegas Mahkamah. Namun, lanjut Mahkamah, terlepas dari pertimbangan hukum dalam putusan tersebut, mengenai dugaan adanya persoalan pidana Pemilu dan pelanggaran lainnya, masih dapat dilakukan upaya hukum lain menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Dodi/mh)

Jangan Bungkam Hak Berpendapat Masyarakat Papua

JAKARTA, KOMPAS.com - Praktek kebijakan represi yang anti-demokrasi kembali terjadi di Papua. Meningkatnya eskalasi kekerasan di Papua dalam beberapa bulan terakhir ditanggapi oleh pemerintah dengan melakukan pembungkaman dan pemberangusan kebebasan politik dan menyampaikan pendapat secara damai. Hal tersebut diungkapkan Marthen Goo, Koordinator National Papua Solidarity (NAPAS) dalam konferensi pers di kantor Kontras, Jakarta (10/8/2012),terkait pembubaran dan penangkapan 15 aktivis Solidaritas Korban Pelanggaran HAM Papua (SKPHP) yang melakukan aksi kemanusiaan penggalangan dana untuk tahanan politik yang sakit. Para aktivis yang berunjuk rasa ini dibubarkan dan sebagian ditangkap oleh kepolisian Polsek Abepura dan Polres Jayapura pada tanggal 19-20 Juli 2012. Peristiwa yang sama kembali terjadi pada tanggal 9 Agustus 2012, di mana pihak kepolisian membubarkan aksi damai rakyat Papua di Manokwari, Jayapura dan Wamena, yang melakukan aksi damai dalam memperingati Hari Masyarakat Adat Internasional. "Negara tidak punya hak membungkam kebebasan berpendapat warganya, apalagi mereka ditangkap karena berkumpul dan menuntut pengakuan terhadap hak masyarakar adat, hak atas identitas budaya, dan hak atas pendidikan. Ini juga sudah diatur dalam ketetapan PBB," tegas Marthen. Menurut Marthen, begitu banyaknya kasus pelanggaran HAM di Papua yang dilakukan oleh aparat keamanan diduga merupakan sebuah kejahatan struktural. "Pelanggaran HAM secara struktural membungkam kebebasan berpendapat masyarakat Papua. Hal tersebut sama dengan membunuh demokrasi di Papua," ujarnya. Menanggapi tindakan represif pemerintah, secara khusus dalam hal kebebasan berkumpul dan berpendapat masyarakat Papua, National Papua Solidarity menyampaikan beberapa tuntutan kepada pemerintah. Pertama, menjamin kebebasan bagi masyarakat untuk berpendapat dan berorganisasi tanpa intervensi TNI dan Polri. Kedua, Presiden segera mengevaluasi keberadaan militer (TNI/POLRI) di Papua. Ketiga, segera melakukan investigasi independen dan transparan dalam mengusut kasus kekerasan yang terjadi di Papua. Keempat, meminta masyarakat Internasional agar aktif situasi kemanusiaan di Papua yang cukup memprihatikan.

Masyarakat Papua Perlu Saling Menghormati dengan Pemerintah

Papua, yang harus dibangun terlebih dahulu adalah kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dengan cara menghapus "kemampatan" kesejahteraan dari atas ke bawah. Oleh karena itu, kata dia, perlu adanya rasa saling menghargai dan menghormati antarmasyarakat dan pemangku kepentingan pembangunan. Demikian disampaikan Ramadhani dalam diskusi publik "Save Papua; Save Indonesia" di Kampus ITB Bandung, Jumat (31/8). Diskusi publik "Save Papua; Save Indonesia" ini diprakarsai Kabinet Keluarga Mahasiswa ITB. Selain Ramadhani, juga turut hadir sebagai pembicara, Ketua Dewan Direktur Sabang-Merauke Circle (SMC), Syahganda Nainggolan; Ketua Nasional Papua Solidaritas (NAPAS) Marthen Go dan Presiden KM ITB Ajar Dimara Sakti. "Namun demikian kondisi ini akan dapat dicapai dengan dimulainya pelayanan yang baik dari pemerintah terlebih dahulu, barulah secara perlahan masyarakat akan terbangun rasa menghormatinya terhadap pemerintah," papar Ramadhani. Dikatakan Ramadhani, anggaran-anggaran yang ada sudah seharusnya dioptimalkan kepada program-program konkrit kepada kesejahteraan masyarakat. "Begitu pun sumber daya alam yang menjadi salah satu modal kesejahteraan harus sepenuhnya dimiliki dan dikembalikan lagi dalam bentuk program-program pembangunan dari negara untuk rakyat Papua. Karena bagaimanapun Papua tetap bagian dari Republik Indonesia," pungkasnya. Sementara itu, Marthen Go, tokoh Pemuda Papua, mengkritik cara pandang yang bias yang dilakukan pemerintah dan milt terhadap masyarakat asli Papua. "Kalau kami orang hitam dan kriting, selalu dicurigai", katanya. "Dana otsus kemana? Apakah untuk menangkapi orang Papua?" tambahnya lagi. Dia juga menekankan perlunya dialog antara rakyat Papua asli dengan pemerintah pusat. Marthen membandingkan Aceh yang mendapatkan kesempatan emas dalam berdialog dengan Jakarta.