Tetesan Air Mata Doa di Asrama
Kawan dengarlah ceritaku..
Cerita tentang perjuangan hidup di asrama TPB IPB.
Semua bermula dari keinginan kuat untuk bisa masuk di salah
satu PTN terbaik, dan tentunya kampus Pertanian telah menjadi pilihan pertama
bagiku.
Ya setelah pengumuman SNMPTN Undangan pada tanggal 26 Mei
2012 tiada banyak kata yang mampu ku ungkap. Hanya rasa syukur dan doa yang ku
panjatkan pada sang Maha Pemberi Rejeki. Salah satu jalan menuju mimpiku telah
Dia buka.
Dan 12 Juni 2012 menjadi tonggak sejarah bagi diriku, inilah
kali pertama aku menginjakan kaki di kampus IPB sebagai calon Mahasiswa Baru
(belum mendapat KTM J). Betapa bangganya aku waktu pertama kali melihat gerbang
utama IPB. Begitu banyak tulisan-tulisan berupa sambutan bagi kurang lebih dua
ribu enam ratusan mahasiswa baru dari seluruh penjuru Nusantara. Dan salah satu
yang masih terekam jelas dan masih memberikan kesan pada diriku adalah sebuh
baligo tinggi besar berwarna putih dengan logo IPB di sebelah pojok kiri atas
baligo, dicetak tebal mungkin tipe tulisannya Times New Roman. Hehe, seperti
ini “ SELAMAT DATANG MUTIARA NUSANTARA”. Ya memang kami di ibaratkan sebagi
mutiara terbaik nusantara yang telah berhasil tersaring dari kurang lebih lima
belas ribu pendaftar SNMPTN Undangan IPB dan kamilah orang-orang beruntung bisa
masuk diantara dua ribu enam ratusan mahasiswa baru yang di terima melalui
SNMPTN Undangan.
*****
Bogor, 27 Juni 2012. Hari yang cukup lama aku tunggu. Kurang
lebih empat hari aku tinggal di Bogor untuk registrasi mahasiswa baru, dan
setelah itu aku kembali lagi ke kampung halamanku, istana paling nyaman yang
aku cinta. Tiga belas hari setelah registrasi calon mahasiswa baru aku memang
tinggal di kampung halamanku dan tanggal 26 Juni 2012, tepatnya pukul 21.00,
aku berangkat lagi menuju Bogor, dan kali ini ada yang berbeda, keberangkatanku
kini ditemani ibunda ku tersayang. Ya ibundaku memang saat itu begitu ingin
mengantarku untuk kali pertama tinggal di Asrama TPB IPB. Aku tahu mungkin ada
rasa yang mengganjal pada diri ibuku, ibuku merasa tidak enak hati ketika saat
registrasi tidak bisa menemaniku, sehingga aku berangkat ke Bogor tanpa sanak
saudara bahkan wali pun tidak aku bawa. Bukan karena ibuku yang tidak mau
mengantar anaknya ini, melainkan aku sendiri yang melarangnya untuk ikut. Dan
bukan tanpa alasan pula aku tidak mengijinkan ibuku mengantarkan aku ke Bogor,
ada beberapa alasan yang menguatkan diriku agar ibu tidak usah mengantarkan aku
untuk registrasi selama tiga hari di Bogor. Pertama aku tidak tahu di Bogor mau
tinggal dimana, dan jikalau ibuku ikut akan sangat tersiksa sekali, beliau
harus tidur di masjid atau tempat-tempat umum lainnya, alasan yang kedua, aku
hanya sementara saja tinggal di Bogor dan nanti juga bakalan balik lagi
pikirku. Alasan yang ketiga, ya semisalkan ibuku ikut mengantarku, ongkos yang
kami keluarkan berarti berlipat ganda, sedangkan aku harus pandai-pandai
mengatur uangku, agar kelak ketika di Bogor aku tidak perlu khawatir akan
kekurangan bekal.
Hari itu jiwaku berkecambuk, pikiranku selalu menyiratkan
agar aku harus berangkat ke Bogor sendiri lagi,tidak mungkin ibuku hanya
mengantarku dan setelah itu beliau harus
balik lagi ke kampung sendirian?
Ah ibuku tidak perlu ikut. Hatiku bertolak belakang dengan pikiranku,
entahlah aku tidak tega melihat ibuku yang telah menginjak kepala lima itu
ingin sekali untuk bisa mengantarkan anak bungsunya ini ke Bogor. Aku tahu beliau telah menyisihkan uang hasil
usahanya berdagang untuk bisa membekali serta bisa ikut mengantarkan aku ke
asrama. Tapi apa aku sebegitu teganya. Akhirnya kujelaskan pada ibuku tentang
resiko yang harus beliau terima kalau memaksakan diri untuk mengantarku.
“Nak, masa ibu tega melihat kamu pergi sendiri lagi ke
Bogor, seolah-olah kamu ini tidak ada yang mengurus. Biarlah ibu nanti langsung
pulang setelah melihat kamu sampai dengan selamat disana. Kemarin kamu pergi
sendiri dan ibu relakan tidak ikut karena inginmu seperti itu, InsyaAllah ibu
ada kok uang buat ongkos dan juga untuk membekali-mu jangan memikirkan itu.”
Seolah ibuku tahu apa yang aku maksud..
*****
Pagi hari kurang lebih pukul 04.00 kami sampai di Terminal
Kampung Rambutan Jakarta dan sejenak kami merehatkan badan kami yang kedinginan
di depan sebuah mushola kecil sembari meminum secangkir teh manis panas.
Adzan shubuh berkumandang, aku bergantian dengan ibundaku
menjalankan solat shubuh, ya ketika aku solat, ibu yang menjaga barang
bawaanku, dan ketika ibu yang sedang solat aku yang menjaga barang bawaannya.
Matahari mulai menampakan bias warna kuning di antara biru
gelapnya langit pagi itu, aku meminta ijin pada ibuku untuk mencuci muka dan
menggosok gigi agar terlihat nampak segar ketika sampai di Bogor.
Tak lama memang, aku kemudian berjalan kembali mendekat
menuju tempat ibuku beristirahat, di bantalan trotoar beliau duduk, aku baru
sadar, betapa terlihat lelahnya beliau, aku kembali merasa khawatir dan tidak
enak hati, aku takut ibuku akan sakit, karena ku tahu beliau memang mudah
sekali sakit ketika tubuhnya merasa kelelahan.
*****
Tak lama aku hubungi kakak pertamaku yang tinggal di Jakarta
untuk menjemput kami berdua. Kakak pertama ku memang bekerja di Jakarta.
Kurang lebih satu jam-an mungkin kami menunggu, akhirnya
sebuh mobil bak terbuka berwarna biru tua medekati kami, entahlah mobil yang
telah terkikis warnanya dan sudah seperti mobil yang benar-benar tidak terurus,
itulah yang akan mengantarkan kami sampai di Bogor, itu memang mobil pengangkut
besi di tempat kakakku bekerja. Usianya mungkin sudah bertahun-tahun. Hehe
(mungkin saja). Pikirku yang penting sampai saja ke tempat tujuan dengan
selamat dan tepat waktu.
Entah berapa lama kami berbincang-bincang selama perjalanan
menuju ke asrama, ada banyak pesan yang aku terima dari kakak dan ibuku, dan
pesan itulah yang menemaniku sampai sekarang ini di asrama.
*****
Pukul 07.00 kami sampailah di kota Bogor, memasuki daerah
dramaga kakakku memakirkan mobil nya di dekat sebuah warung makan, dan kami
beristirahat sejenak disana, kakak-ku mungkin tahu kami kelaparan, karena belum
sempat makan dari awal kami berangkat dari kampung.
Kami tidak bisa berlama-lama beristirahat disana, kami harus
bergegas lagi, bukan karena aku diburu waktu untuk registrasi asrama, melainkan
kakak-ku-lah yang tida bisa berlama-lama, dan harus kembali bekerja sekitar
pukul 10.00 WIB.
*****
Lagi-lagi gambaran kenangan indah, terbesit kembali ketika
aku berada di depan pintu gerbang utama IPB, tapi kini dengan perasaan yang
berbeda, jika kemarin aku hanya bisa merasakan kebanggaan ini sendiri, tapi
kini aku bisa merasakan dan melihat betapa ibu dan kakak-ku bangga aku bisa
menjadi salah-satu mahasiswa di PTN terbaik negeri ini.
Ya, anak terakhir yang harus di biayai oleh-nya ini kini
telah sampai pada batas minimum pendidikan yang di amanahkan Almarhum Ayahanda
tercinta, Bapa Yoyo Mulyana. Ayah dan ibuku memang bukan seseorang dengan latar
belakang sebagai orang mampu dan berpendidikan, Ayah dan Ibuku hanyalah lulusan
Sekolah Dasar, itupun mereka masih bisa bersyukur bisa merasakan bangku Sekolah
Dasar di tengah keadaan keluarga yang tergolong sangat tidak mampu saat itu
(cerita ayah).
*****
Putaran roda kehidupan benar-benar kami rasakan, dari tidak
mampu, menjadi mampu, dan dari mampu kembali menjadi biasa-biasa saja, ya
itulah keluarga kami, kehidupan kami. Sebuah perjuangan keluarga yang luar biasa, dan sampai saat ini aku
masih menjadikan (alm) Ayah sebagai sosok tokoh idola bagi diriku setelah Nabi
besar Muhammad SAW. Bagiamana tidak, dikala kecil beliau cukup pintar, sayang
faktor ekonomi menghentikan langkahnya untuk bisa mengenyam pendidikan yang
lebih layak, dan lulusan Sekolah Dasarpun menjadi berkah bagi beliau, sehabis
itu dikala seharusnya beliau duduk di bangku SMP beliau telah membantu
keluarganya dengan menjadi seorang penjual oncom. Setauku beliau juga pernah
bekerja sebagai kuli, pernah menjadi gelandangan di Jakarta ketika untuk
pertama kali merantau ke Jakarta, hingga akhirnya bisa menjadi tauladan bagi
warga desa, dan masih banyak hal tak tertuga, dan tak pernah terbayangkan
sebelumnya oleh ku, aku sendiri mungkin belum tentu mampu seperti beliau, tapi
aku bertekad, apapun yang terjadi padaku, apapun yang terjadi pada putaran roda
kehidupan keluargaku, aku akan mampu bertahan dan mampu melangkah maju,
menelusuri jejak langkah yang pernah ayahanda terkasih lalui. Masalah itu boleh
besar, tapi yakinlah Allah SWT jauh lebih besar dari masalah yang kita hadapi.
So, dekatkanlah diri pada Allah sang maha Pencipta.
*****
Satu bulan lebih kini aku telah tinggal di Asrama TPB IPB
bersama ratusan mahasiswa jalur SNMPTN Undangan lainnya, dan kini asrama telah
penuh dengan datangnya mahasiswa baru dari jalur SNMPTN Tertulis, UTM, BUD, dan
PIN.
Sungguh inilah realita kehidupan yang sebenarnya, aku tak
lagi bisa bermanja-manja, disini aku harus berjuang bersama kawan-kawan lainnya
untuk bisa bertahan hidup dan tetap berprestasi demi membanggakan keluarga dan
demi meraih masa depan serta cita-cita yang telah kami semua impi-impikan.
Oh ya, aku ingin bercerita tentang bagaimana aku begitu
sering meneteskan air mata disini. Lah kok? Lebay banget si lu cowo kan? Haha,
coba bacalah dulu ceritaku sampai selesei, baru kamu akan tahu mengapa aku
sampe meneteskan air mata.
Beginilah ceritanya...
*****
Sebelumnya, sebelum ada anak-anak baru dari jalur SNMPTN
tulis, UTM, BUD dan PIN. Asrama hanya di huni oleh mahasiswa SNMPTN jalur
Undangan. Ya, kita memang harus masuk lebih awal, dari yang lainnya, termasuk
daripada universitas negeri lainnya pula. Kita harus mengikuti yang namanya
Matrikulasi, ah sebenernya sih lebih mirip Semester Pendek (SP), atau juga
sering disebut kuliah Matrikulasi Alih Tahun, ah entahlah apapun istilahnya,
yang jelas kita belajar selama dua bulan kurang lebih , banyaklah, haha. . Kita
hanya mempelajari satu bidang pelajaran saja sih, tergantung departement kita, ada yang dapat Landasan
Matematika, Fisika, Fisika Dasar, dan Fisika Umum. Bukan ini yang akan aku
ceritakan.
Rata-rata mahasiswa IPB yang di terima melalui berbagai jalur
adalah mahasiswa terpilih dan terseleksi,terutama mereka yang masuk melalui
SNMPTN Undangan aku tidak pungkiri mereka semua berprestasi, walau ada juga
mungkin yang karena rejekinya di IPB bisa diterima juga, termasuk aku mungkin.
Kebanyakan mahasiswa undangan berlatar belakang keluarga yang biasa-biasa
saja,walaupun tak sedikit pula mereka yang berlatar belakang ekonomi di atas
rata-rata,namun mereka begitu luar biasa berprestasi.
Pernahkan kita membayangkan ada anak yang kuliah tanpa
seijin orang tua, atau orang tuanya melarangnya untuk kuliah karena belum ada
biaya, atau anak yang sudah tidak memiliki siapa-siapa tapi bertekad untuk
tetap kuliah, atau anak yang dengan keterbastan ekonomi luar biasa tetap
memberanikan diri untuk berkuliah? Pernahkah? Jawabanku, AKU MELIHAT LANGSUNG
anak-anak luar biasa seperti apa yang
aku pertanyakan di atas. Ya, mereka semua ada di IPB, orang-orang hebat
yang tetap berusaha untuk bisa meraih asa dan menggapai cita mereka.
Coba bayangkan mereka yang berbekal prestasi dan katakanlah
hanya berbekal uang yang pas-pas an berangkat dari seluruh penjuru negeri
menuju kampus rakyat nan madani untuk bisa mematahkan batasan, anggapan atas
cacian orang-orang bahwa kuliah hanya untuk orang-orang kaya. Kini mereka semua
telah membuktikannya, mereka masih bisa kuliah walau dengan keadaan ekonomi
yang biasa-biasa saja.
Mereka tak pernah merasa kecil, karena kami semua sama, tak
ada yang berbeda. Alhamdulillah IPB begitu luar biasa memberikan banyak pilihan
beasiswa, dan dari seleksi tahap registrasi sampai masuk asrama, dan dari
seribu tiga ratusan mahasiswa baru yang mengikuti seleksi wawancara dll, IPB
telah memberikan bantuan pendidikan Beasiswa Bidik Misi bagi kurang lebih 1000
mahasiswa baru jalur Undangan.Setidaknya ini meringankan beban mereka untuk
bisa bertahan di kampus rakyat ini.
Tahukah kawan, beberapa hari kami tinggal di asrama, kami
telah benar-benar merasakan arti sebuah keluarga baru. Ketika sakit ada yang
menemani, ketika uang sudah tak ada sepeserpun di tangan, ada yang meminjami,
ketika ada masalah, yang lain memberi solusi, ketika ketinggalan pelajaran, ada
banyak yang mengajari, ketika rindu keluarga di kampung ada musik yang
senantiasa berkumandang di setiap gedung,musik yang akan membakar semangat
kawan-kawan untuk terus bertahan dan berjuang.
Kawan ada banyak cerita yang kami bagi di asrama. Tahukah
bagaimana perjuangan mereka untuk bisa sampai ke Kota Bogor ini, ada yang
pernah menjadi kuli, ada yang menjadi penjual barang-barang, ada yang meminjam
uang ke temannya, ada yang di beri bekal oleh tetangganya, ada yang hampir tak
jadi untuk melakukan registrasi, ada yang harus beradu mulut dengan orang tua
mereka, ada yang berangkat dengan cacian tetangga, dan ada juga yang berangkat
dengan doa penuh dari orang-orang terkasih. Subhanalloh bukan? Lantas masihkah
kawan-kawan bisa tertawa lepas, bermalas-malasan sedang keadaan kawan-kawan
yang jauh lebih baik dari apa yang mereka rasakan. Bersyukurlah pada sang
pencipta akan apa yang dikaruniakan-Nya kepada kawan-kawan semua.
Acap kali ketika melihat semangat mereka, ketika mendengar
cerita mereka, dan ketika merenungkan doa-doa mereka disaat itulah aku tak
mampu membendung air mata ini, rasanya bukan hanya aku, tapi kami semuapun
pernah meneteskan air mata selama di asrama.
Sampai saat ini aku masih belum begitu percaya, bahwa aku
sekarang berada di sebuah kampus ternama, berkawan dengan orang-orang dari
seluruh penjuru nusantara, orang-orang hebat, orang-orang dengan mimpi yang
luar biasa, orang-orang yang tetap mensyukuri nikmat Tuhannya, orang-orang yang
ingin membuktikan kepada bangsa dan dunia, bahwa hidup ini adalah perjuangan,
bukan sekedar ratapan. Aku Bangga bersama Institut Pertanian Bogor.
Terimakasih Allah SWT atas kenikmatan dan rejeki yang telah
Engkau berikan kepadaku, terimakasih Ibu yang telah berjuang dan berdoa untukku
hingga aku bisa diterima di kampus yang aku damba-dambakan, terimakasih
kakak-kakak ku tercinta yang telah bekerja keras untuk bisa membiayai ku dari
semenjak Ayahanda di panggil oleh sang maha kuasa, terimakasih banyak kak,
terimakasih telah memenuhi keinginanku untuk bisa bersekolah minimal sampai
tingkat Strata 1, terimakasih atas kesabarannya memberikanku uang bulanan,
Insyaallah adek tetap mensyukuri walau terkadang tak tercukupi. Terimakasih
guru-guru SMAN 2 Ciamis yang telah mendidik-ku, dan memberikan banyak
pengalaman serta kesempatan yang tak akan terlupa. Terimakasih sahabat, kakak,
dan adik kelas yang senantiasa selalu menyayangi, menemani, membantu dan
mendoakanku. Terimakasih teruntuk guru konseling ku di SMA, special untuk Bu
Ikon Kurniasih yang telah memberikan rekomendasi seleksi beasiswa kepadaku, dan
terimakasih DIKTI atas bantuan beasiswanya. Semoga suatu hari nanti aku bisa
mengabdi dan berguna bagi nusa dan bangsa. Amin.
Special untuk Ayahanda tercinta, “Ayah dengarlah cerita dan
doa anak-mu ini, Ayah kini anak bungsu mu telah sampai pada tingkat pendidikan
yang engkau harapkan, kini adek sedang belajar di salah satu kampus ternama,
kampus rakyat yah, kampus yang peduli akan generasi penerus bangsa, kampus yang
telah adek pilih sebagai pijakan adek menggapai cita-cita, kampus yang
insyaallah luar biasa hebat. Ayah kabar baik lainnya, kini salah satu mimpi
adek ketika SMA telah tercapai yah, adek kini disini kuliah mendapatkan
beasiswa, alhamdulillah keinginan adek meringankan beban pikiran ibu dan
kakak-kakak sedikit tercapai. Jika engkau mendengar suara anakmu, ayah cukup
dengarlah dan semoga Allah mengijabah doa adek, mudahkanlah segala urusanku,
dan ijinkan aku memberikan yang terbaik bagi setiap orang yang telah berjasa
dalam hidupku, dan semoga aku menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa,
serta dapat meraih cita-cita, Ayah mungkin engkau sudah tahu, kemampuan
akademikku tidaklah seberapa, tapi adek disini begitu senang,karena adek
berkawan dengan banyak orang-orang pandai nan jenius sehingga adek semakin
sering dan semakin semangat belajar, semoga engkau bahagia, semoga Allah
mempertemukan kita di dalam Syurga-Nya suatu hari nanti. Amin.A