ilmu sosial (dan humaniora) yang di Indonesia sedang
dalam keadaan krisis berkepanjangan (Heryanto, 1999)
tanpa perhatian yang memadai, di tingkat fakultas,
universitas, maupun konsorsium nasional.
Inspirasi faktual lainnya bersifat praktis, meski tidak
sepenuhnya, yakni untuk memfasilitasi mahasiswa di
kelas Ilmu Sosial Dasar (ISD) dan kemudian menyusul
kelas Etika dan Filsafat Komunikasi, dengan menyajikan
pengajaran yang lebih meyakinkan. ISD yang sejak
awal penulis artikan sebagai Ilmu tentang Masalah
Sosial dan Solusi yang Dasar, memaksa penulis sendiri
untuk dapat memberikan pemahaman yang jelas tentang
apa yang “dasar” dari ISD maupun masalah sosialkemanusiaan, agar
jelas pula solusi dasarnya. “Dasar”
dalam ISD tidak tepat bila diartikan sebagai awal atau
pengantar –seperti yang diasumsikan oleh para pengajar
ISD lainnya maupun panduan kurikulum/silabusnya–
sebab tidak ada mata kuliah lanjutannya dan memang
tidak cukup perlu bagi mahasiswa non-sosial. Jadi,
“dasar” harus diartikan kurang lebih sebagai mendasar,
yang paling dasar/dalam, yang inti, atau akar.
Inspirasi yang konseptual berasal dari analisis
Aristoteles tentang kekhususan filsafat yakni “mencari
sebab-sebab yang terdalam dari seluruh realitas”
(Bagus, 1991). Pernyataan ini tidak cukup mudah untuk
dicerna – juga bagi penulis sendiri – apalagi untuk
diterapkan dalam pengajaran bagi orang lain. Penulis,
mulanya, hanya sekedar bertanya “apa sebab-sebab
terdalam dari keseluruhan masalah sosial?” tanpa
mampu menjawab secara memuaskan atau meyakinkan
diri sendiri. Karena itu cara mencari tersebut perlu
dijabarkan ke tingkat yang lebih kongkret.
Inspirasi konseptual lainnya adalah pengetahuan bahwa
kegiatan berpikir pada umumnya, atau hampir selalu,
mengandaikan adanya suatu
metode tertentu. Apalagi
bila kegiatan berpikir itu lebih mendalam sifatnya
karena menyangkut akar. Hal ini bisa dibandingkan
dengan kegiatan berpikir filsafati – yang lebih
mendalam dibanding berpikir biasa – yang ditandai
dengan metode tertentu yang digunakan oleh masingmasing
filsufnya (Rapar, 1996; Bakker, 1986). Dengan
menggunakan metode dalam kegiatan berpikir, jalan
menuju pemahaman obyek yang dipermasalahkan
menjadi teratur dan sistematis. Dengan metode tersedia
‘jalan yang melaluinya’ –
meta hodos, methodos –
orang lain dapat tiba pada akhir yang (kurang lebih)
sama, sekurang-kurangnya dapat diperbandingkan atau
diuji dengan ukuran yang sama.
1.2. Beberapa Konsep Pendukung
Sebelum analisis dilakukan perlu diperhatikan lebih
dulu tiga komponen konseptual yang melengkapi
MAAMS.
Pertama, mengenai instansi atau sumber kebenaran,
yang tidak hanya satu seperti hakikatnya penampakan
realitas yang beragam. Ia mencakup hati nurani, ilmu,
filsafat, dan agama (ditambah seni sebagai
fasilitatornya); semuanya digunakan secara menyeluruh
dan saling melengkapi. Sedangkan teori kebenaran
antara lain: teori korespondensi, teori konsistensi/
koherensi, teori pragmatis (Muhadjir, 2001), dan teori
konsensus dari Habermas (Budi Hardiman, 1990).
Kedua, mengenai pendekatan terhadap masalah (dan
solusi) yang dibedakan menjadi dua. Ada masalah sosial
dan kemanusiaan yang khas individual – ungkapan
populernya: “tergantung pada individu masing-masing –
ada pula masalah yang khas sistemik. Masalah sosial
dan kemanusiaan sebagian besar membutuhkan keduaduanya.
Pendekatan individual/personal/mentalistik
beranggapan bahwa letak sebab dari masalah adalah di
dalam diri manusia pelaku (aktor/agen), kualitas
perorangan seperti niat, iman, disiplin-diri, nilai-budaya,
kadar moralitas, kognisi, dan sebagainya yang proses MAKARA,
SOSIAL HUMANIORA, VOL. 12, NO. 2, DESEMBER 2008: 72-81 74
internalisasinya tak dapat dikenai sanksi hukum (lebih
bersifat imbauan). Pendekatan sistemik/struktural/
institusional/legalistik beranggapan bahwa letak sebab
dari masalah adalah di luar diri manusia berupa
kesempatan, kualitas sistem, kualitas hukum, undangundang,
peraturan yang mempunyai sifat memaksa.
Kedua pendekatan ini –karena dipandang sebagai
dualitas (Herry-Priyono, 2002: 22-36) – juga digunakan
sekaligus dengan proporsi tertentu sesuai dengan
kondisi yang dihadapi.
Ketiga, berkaitan dengan kecerdasan (IQ) dan kejujuran
(EQ dan SQ) dalam berpikir, khususnya dalam
mengidentifikasi sebab-sebab. Di samping kecerdasan
yang memadai, yang lebih diutamakan adalah kejujuran
yang merupakan keutamaan moral dasar (MagnisSuseno, 1989).
Kejujuran sangat dituntut, khususnya
ketika menemukan sebab negatif yang ternyata berkait
dengan diri sendiri. Pada titik ini sering orang
menghindar untuk tidak mengidentifikasinya, dan
sebagai gantinya menyebut sebab lain yang juga masuk
akal, bahkan tampak sangat masuk akal, tapi tidak
berkait dengan dirinya. Jika ini yang terjadi akar
masalah/penyebab tidak ditemukan, atau kalaupun
dianggap sebagai akar masalah, jadinya semu bahkan
menyesatkan secara sengaja (manipulasi). Dari
kesembilan unsur kejujuran, yang terpenting adalah
pengakuan yang tulus bahwa diriku atau pendapatku
lebih keliru dibanding orang lain (Harsono P., 2002).
Jika ketulusan tidak muncul perlu pengkondisian agar
pengakuan akhirnya muncul, seperti yang dilakukan di
pengadilan (dengan sumpah dan lie detector).
2. Metode dengan Peragaan
Tata-Alir
(flow chart)
Pada awalnya penulis menjabarkan cara berpikir untuk
mengidentifikasi akar masalah/penyebab dalam wujud
model verbal. Model verbal yang pertama hanya berupa
rangkaian “mengapa–sebab(-sebab)–mengapa, dan
seterusnya” yang ditujukan pada kasus atau masalah
sosial tertentu. Setelah diujicoba dalam kuliah, dibuat
model verbal berikutnya berupa “mengapa–sebab
(sebab)–benarkah (ya/tidak)–mengapa, dan seterusnya”.
Kemudian, agar lebih mudah lagi, kongkrit, dan dapat
ditirukan mahasiswa, dibuat peraga/model visualnya
berupa tata-alir (flow chart).
Ketika mencermati pernyataan Aristoteles tersebut di
atas, penulis ingat akan sebuah pernyataan atau anjuran
sederhana yang penulis lupa sumbernya. “Kalau mau
berpikir mendalam, ajukanlah pertanyaan “mengapa”
secara berulang-ulang”. Lalu secara apa adanya,
terhadap berbagai masalah sosial yang ramai
diperbincangkan penulis ajukan pertanyaan “mengapa/
mengapa terjadi” secara berulang-ulang mengiringi
setiap jawaban yang penulis kemukakan sendiri. Praktik
latihan ini tidak memberi hasil yang memuaskan bagi
penulis. Anjuran atau saran tersebut ternyata tidak dapat
dilaksanakan begitu saja atau sesederhana itu. Jawaban
yang muncul demikian banyak kemungkinannya dan
“tanpa akhir”. Karena itu model diperbaiki lagi dengan
membuat beberapa pembatasan atau syarat.
Berikut ini adalah langkah-langkah menjalankan
MAAMS:
a. Rumuskan suatu masalah (sosial dan kemanusiaan)
dalam bentuk yang dapat diajukan pertanyaan “apa
sebab-sebabnya.” Misalnya, apa penyebab
timbulnya perkelahian pelajar; mengapa kualitas
SDM kita rendah, mengapa Malaysia berani
mengincar Ambalat, apa sebab penularan
HIV/AIDS, juga pemakaian narkoba yang semakin
meluas? Jenis pertanyaan yang mengarah pada
solusi ini harus didukung fakta. Jika dari judul
(artikel, makalah, skripsi, tesis, disertasi) tidak dapat
diajukan pertanyaan (“Apa Sebabnya” atau
“Mengapa”), identifikasi lebih dulu alasan-alasan
atau fakta-fakta yang biasanya ditulis sebagai latar
belakang masalah. Terhadap alasan-alasan atau
fakta-fakta inilah diajukan pertanyaan mengapa atau
apa sebab-sebabnya.
b. Identifikasi sebab-sebab negatif yang paling langsung dari X.
Misalnya ada 4 faktor, ditandai dengan
Sa1, Sb1, Sc1, Sd1. (S=sebab; abcd=masing-masing
faktor; angka 1=tahap pertama penelusuran sebab).
Sebab negatif yaitu suatu keadaan salah-buruk yang
perlu diatasi atau diperbaiki; sedangkan paling
langsung yaitu sebab yang tidak diantarai oleh sebab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar