Minggu, 10 Februari 2013

KATANYA NKRI


Katanya Sih NKRI
 saya BATAK , terus kenapa?

Tulisan ini dimulai dengan ketikan jari dari seseorang yang sama sekali dalam ketidakdewasaan. Kepicikan kata-kata harap dimaklumi oleh orang-orang yang merasa tersinggung akibat ketidakdewasaan yang sebelumnya telah disebutkan.

Namun, harapan dari tulisan ini tetap saja ingin menyinggung mereka yang tidak pernah merasa tersinggung!

“RASIS” itulah kata yang menjadi latarbelakang ketikan yang diinput di atas folio digital ini. Anda yang membaca tulisan ini dipersilakan untuk tertawa miris, itupun jika anda orang yang sensitif. Rasis merupakan salah satu halangan besar untuk menciptakan keutuhan negara bangsa palsu yang diciptakan 66 tahun lalu. Bangsa itu bernama Indonesia. Seperti ucapan PDnya (percaya diri) the founding father Indonesia yaitu Soekarno, “Negara kita adalah negara yang memiliki konsepsi dan berideologi”, ya benar! Negara ini konsepsinya adalah imperialis kaum Jawa, dan ideologinya dongeng pancasila. Ada yang mau marah? Silahkan!! Karena itu harapan penulis. Soekarno yang kita temui diberbagai buku-buku sejarah dalam dunia pendidikan, hanyalah seorang pria yang bermental kraton dibalik pakaiannya yang telah menerima pengaruh westernisasi (walaupun ia benci barat). “Prokalamator” itulah sebutan untuk Paduka Yang Mulia Soekarno yang mengaku benci kapitalis dan berpemahaman sosialis, tetapi tetap suka dipanggil Paduka Yang Mulia, memiliki selir, dan bisa membubarkan parlemen seenak udele dewe. Bukankah ini pembodohan..hee( izinkan penulis untuk tertawa ). Begitu juga dengan penerus-penerus negara ini setelah si Paduka. Mereka semua disebut dengan Kaum Moderat Feodalis yang bermentalkan sama, melarang rasis, tapi menciptakan rasis. Maaf yang sebesar-besarnya untuk pengagum Soekarno dan pengagum Soe-Soe yang lain.

Rasis memanglah memiliki kecenderungan lahir dari lidah kaum minoritas, tetapi ia juga dibesarkan oleh kaum mayoritas negara ini. Banyaknya kelompok separatis yang bermunculan adalah salah satu bentuk manifestasi atas kekesalan mereka terhadap pemilik saham demokrasi di Negara ini yaitu Wong Jowo. Mas-mas pemimpin kita memang adalah orang-orang yang memikirkan jangka panjang kelanggengan kekuasaan rasnya, lihat saja transmigrasi yang sebenarnya adalah proyek politik jangka panjang. Selain itu keberhasilan program keluarga berencana justru lebih dinikmati oleh orang-orang yang bukan Jawa, hebat bukan? Nah dengan begitu demokrasi yang berbasiskan populasi terbanyak akan memperpanjang nyawa kejayaan masa lalu mereka, yaitu Majapahit. Sebenarnya majapahit bukanlah apa-apa dibandingkan kerajaan Sriwijaya di Sumatera yang perkembangannya jika dilihat dari segi kultur, pendidikan, sosial, dan politik. Majapahit hanyalah masa lalu kelam yang dibangga-banggakan oleh orang-orang Jawa. Masa lalu yang penuh dengan kecurangan berpolitik dan gila kekuasaan.

“Wah!! Jangan rasis gitu dong ngomongnya”, itulah kalimat yang mungkin anda lontarkan!! Tapi tunggu dulu, yang mulai untuk menciptakan rasisme siapa? Instansi penting negara ini dikuasai oleh siapa? Akses pendidikan terbaik selalu didapatkan di mana? Provinsi yang ada daerah istimewanya di mana? Ras yang selalu merasa dirinya pintar siapa? Atlit nasional didominasi orang mana? Pembangunan infrastruktur difokuskan kemana? Industri-industri diprioritaskan dimana? Presiden orang mana? Ketua DPR orang mana? Ketua MPR keturunan Mana? Berapa persentase jabatan menteri dipegang oleh orang Jawa? Bandingkan dengan berapa banyak menteri non Jowo! Dan ini hanyalah contoh sebagian kecil bukti bahwa negara ini adalah milik Mas-mas dan mbak-mbak.

Dan tak kalah pentingnya sumpah pemuda yang bersumpah untuk berbahasa satu yaitu bahasa indonesia mulai disusupi dengan bahasa daerah mereka. Contoh kecil saja, bisa kita lihat dipilihan bahasa http://www.google.co.id maka akan ditemukan pesaing bahasa Indonesia, yaitu bahasa jawa, selain itu berbagai merk hp di Indonesia juga telah diinput dengan bahasa jawa (maksudnya apa?). Katanya mau menciptakan persatuan Indonesia? Entah alasan mempertahankan kebudayaan atau ingin menghancurkan bahasa Indonesia yang notabene adalah bahasa Sumatera/melayu yang sesungguhnya mereka benci. Ooh iya sekarang penulis mengerti, bukankah kejayaan masa lalu mereka hebat, kenapa harus menggunakan bahasa melayu?? …tolol…. Kalau saja bahasa melayu tidak menjadi lingua franca di beberapa negara asia tenggara, tentunya bahasa Indonesia saat ini adalah bahasa Jowo.

“Kalau orang-orang Jawa tidak masuk ke wilayah tersebut, maka daerah itu tidak akan berkembang.” Pernah dengar pernyataan di atas dari orang-orang Jawa? Wahhh seringgg coyy…ya iya lah daerah tersebut tidak bakalan mekar, kekuasaan berada ditangan mereka kok? “Coba saja Presiden dan antek-anteknya orang papua!, pasti kita semua bakalan urbanisasi ke Papua karena perkembangannya. Coba saja kita bandingkan bagaimana percepatan pembangunan di daerah transmigrasi, dengan daerah yang tidak ada transmigrasinya?. “Jangan memecah belah bangsa” itulah kata mas-mas kita di singgasana yang dibalut loyalitas feodalisme. Saya sebagai penulis tidak memecah belah bangsa dengan tulisan kecil ini (ga ngaruh lagi!!) karena bangsa Anda-anda yang terhormat adalah Bangsa Jawa, bukan Bangsa Indonesia.

Terus terang…banyak di antara kita yang bangga dengan negara ini, dan kita sering menyebutnya dengan nasionalisme. Tapi pernah tidak kita melihat bagaimana nasionalisme telah membuat kita mati-matian untuk membela negara yang hanya berpihak untuk etnis tertentu! Menyakitkan bukan? Sepihak tulisan ini memang mendiskresditkan salah satu etnis terbesar di negara ini, dan penulis sangat sadar itu. Banyak orang-orang non Jawa mengaku pintar dari orang Jawa, tapi tetap saja mereka adalah orang-orang bodoh (termasuk penulis) karena sampai sekarang Orang-orang Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua masih aja mau dibodohin ama orang Jawa…ironis.

Untuk mengurangi konflik kesukuan yang sering muncul, salah satunya jalan adalah memecah negara besar yang tidak efektif dengan melahirkan negara-negara baru agar ketimpangan-ketimpangan yang sekarang ini bisa diredam. Apapun alasannya, berpisah dari Indonesia adalah wacana lama yang masih memiliki potensi untuk dihidupkan kembali. Karena lebih baik meruntuhkan bangunan lama untuk dijadikan bangunan baru daripada memperbaiki bangunan lama yang telah rapuh.

“Jangan salahkan orang Jawa dong!! Kan yang salah pemimpinnya, banyak juga pemimpin luar Jawa yang ikut menjadi polutan dalam sistem negara!!”Ehh tunggu dulu, di masa lalu kita menyebut orang Belanda penjajah, dan apakah itu berarti orang Belanda yang bertani di Belanda bisa dikatakan penjajah ? tetap saja di zaman itu tidak ada yang membenahi kalimat di atas menjadi seperti ini, “ Sebenarnya yang salah itu VOC dan pemimpinnya, bukan Belanda.”. Sudah saya bilang sebelumnya bahwa tulisan ini hanya untuk orang-orang yang merasa tersinggung atas apa yang saya singgung. Jikapun itu membawa nama etnis Jawa secara kesuluruhan, karena masalah dominan negara Indonesia yang palsu ini memang pemicunya adalah orang-orang Jawa. Ada yang mau menghentikan orang-orang non Jawa berbicara saat mereka tertindas??? Ya ada….bunuh saja mereka, seperti cara-cara yang pernah Kalian lakukan Jendral-jendral banci (jendral yang hanya berani memimpin perang terhadap rakyatnya sendiri).

Untuk pemimpin luar Jawa yang bangga berada di bawah bokong kekuasaan Jawa, saya ucapkan selamat!! Karena anda bakalan diangkat, dibesarkan, dan akhirnya diruntuhkan oleh mereka sang pengagum wayang kulit.

“Orang-orang non Jowo kebanyakan iri dan dengki dengan apa yang orang-orang Jawa dapatkan berkat keuletan dan kegigihan bangsa Jawa.” Wow penulis lupa dengan keuletan dan kegigihan orang Jawa sehingga mereka meraih sukses. Tapi saya lebih lupa lagi dengan keuletan dan kegigihan orang-orang Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi yang sukses membangun Malaysia. Fakta membuktikan bahwa orang-orang keturunan Sumatera dan Sulawesi, berhasil menjadi pemimpin yang mampu membawa Malaysia ke arena negara yang berkelas.

“Bukankah di Malaysia orang-orang keturunan Jawa sangat banyak?” 100 buat anda!! Tapi ingat , mereka tidak lagi disebut Jowo, tapi Melayu, rumpun bangsa yang dibenci Soekarno. Orang-orang Jawa di Malaysia lebih bangga disebut Melayu, tapi orang-orang Melayu di Indonesia lebih bangga anaknya diberi nama Jowo, agar kelak untuk bekerja dipemerintahan lebih mudah untuk diterima. Sekarang pertanyaannya, dimana sekarang kelangsungan Melayu aceh, Melayu Minang, Melayu deli, Melayu Riau, Melayu Palembang, Melayu Banjar, Melayu Bugis, Melayu Betawi? Mereka semua sekarang telah berubah menjadi NKRI ( Negara Kraton Raden Indonesia ), sebuah negara yang akan selalu meletakkan nama Soedirman di Jalan-jalan utama di seluruh Indonesia.

Tapi bagaimanapun penulis akan tetap berterimakasih kepada orang-orang Jawa, karena telah mengajarkan saya beberapa hal :

1) Meletakkan keris di belakang, lebih mudah menjadikan musuh sebagai teman saat berhadapan, dan membunuhnya saat berbalik arah.

2) Pengkhianat akan disebut pengkhianat apabila mengkhianati pemimpin, dan akan disebut moderat apabila mengkhianati rakyat.

3) Kejujuran kepada pembohong disebut loyalitas.

4) Mengutamakan formalitas daripada kwalitas disebut berbobot.

5) Politik diartikan sebagai cara memperoleh kekuasaan, bukan mengatur kekuasaan.

6) Kepentingan berarti peluang untuk mengabaikan.

7) Menjadikan partai dalam skala banyak akan menjadi strategi berbedak demokrasi untuk mempertahankan kekuatan etnis yang populasinya lebih dominan.

8) Kalau saya sebutkan seluruhnya, maka penulis akan dibunuh dalam waktu dekat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar