prosesnya juga lebih sederhana.
Misalnya, gadis A menggugurkan kandungan.
Mengapa? Sebab ia merasa malu atas kehamilannya.
Mengapa malu? Ia hamil sebelum nikah. Mengapa
hamil sebelum nikah? Sebab gadis A dengan pria B –
yang bukan muhrim – “berada di ruangan terkunci,
tertutup rapat atau tempat yang sunyi”.
Pertanyaan “mengapa” bisa saja dilanjutkan dan tetap
ada jawaban. Tetapi jawabannya berupa sebab positif –
jadi bukan merupakan masalah– atau sebab negatif yang
tidak memperlihatkan perilaku nyata yang sulit
dijangkau hukum –jadi bukan akar masalah. Misalnya,
mengapa “berada di ruangan terkunci, tertutup atau
tempat yang sunyi”? Sebab ingin secara langsung
menyampaikan isi hati (curhat). Curhat boleh-boleh saja
(positif), tetapi haruskah dengan “berada di ruangan
terkunci, tertutup atau tempat yang sunyi”. Jawabannya,
tidak. Jika jawaban berupa sebab negatif, misalnya:
imannya lemah, bukan perilaku nyata yang mudah
dijangkau sanksi hukum.
Aborsi bisa saja dilakukan oleh pasangan yang sah,
tetapi oleh sebab yang dapat dipertanggung-jawabkan
sehingga perlu dilakukan aborsi (misalnya kehamilan
tertentu yang membahayakan nyawa ibu) atau korban
perkosaan. Yang paling banyak terjadi adalah aborsi
yang dilakukan oleh pasangan yang tidak sah dengan
“berada di ruangan terkunci, tertutup atau tempat yang
sunyi”.
Perselingkuhan/zinah juga terjadi karena sebab dasar
yang sama. Seorang suami (atau isteri) bisa saja tidak
bahagia dalam perkawinannya, krisis saling percaya,
rendah komitmen dan komunikasinya. Akan tetapi jika
dia tidak “berada di ruangan terkunci, tertutup atau
tempat yang sunyi” dengan lawan jenis lainnya yang
dikencaninya, zinah tidak terjadi. Tetapi dewasa ini,
banyak juga terjadi pasangan yang tampak “baik-baik”
(jadi bukan baik sungguh), ternyata juga melakukan
tindakan “berada di ruangan terkunci, tertutup atau
tempat yang sunyi” dengan selain pasangan sahnya.
Apabila “Korupsi Cinta” ini diketahui oleh pasangan
atau anggota keluarganya tak jarang muncul masalah
keretakan rumah tangga dengan akibat-akibat negatif
ikutannnya yang lebih berat seperti perceraian. Faktor
“berada di ruangan terkunci, tertutup atau tempat yang
sunyi” entah mengapa jarang disebut-sebut oleh
pembicara atau yang dianggap pakar dalam talk show,
seminar, maupun karya ilmiah. 79 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL.
12, NO. 2, DESEMBER 2008: 72-81
Penularan HIV/AIDS banyak disebabkan oleh faktor
“berada di ruangan terkunci/tertutup atau tempat yang
sunyi”, selain penggunaan bergantian jarum suntik
bernarkoba. Faktor penyuluhan dan penggunaan
kondom, di banyak negara berkembang, terbukti tidak
efektif meski telah menghasilkan penghargaanpenghargaan bagi
aktivis relawan dan wartawan yang
mencurahkan perhatiannya.
Jadi, akar dari masalah-masalah tersebut adalah “adanya
(terutama dua orang) laki-laki dan perempuan bukan
muhrim berkencan/berada di ruangan yang terkunci,
tertutup rapat atau tempat yang sunyi” seperti kamar
hotel, motel, kost yang tidak dipantau, lokalisasi
prostitusi, apartemen atau rumah biasa yang sepi
penghuni atau dihuni oleh wanita/pria simpanan. Hal ini
sesungguhnya juga menjadi akar masalah dari
pornografi (yakni saat pembuatannya), wanita/pria
simpanan, prostitusi terselubung, pesta “one night
stand”, sex after lunch, bahkan juga pelacuran anakanak.
Akar penyebab kedua adalah ‘pengetahuan yang tidak
memadai (utuh-menyeluruh-mewujud) tentang yang
benar dan yang baik pada diri inidividu maupun sistem
dalam memenuhi kebutuhan dasar (motivasi) terutama
libido (“cinta”). Kalau seseorang memiliki ‘pengetahuan
yang memadai’ tentang salah-buruknya berada di
ruangan terkunci-tertutup-sepi dengan lawan jenis yang
bukan muhrim, ia tidak akan melakukannya.
Sudah tentu ada kekecualian yang sungguh langka
untuk masalah-masalah dalam Contoh 5 tersebut. Hanya
orang tertentu saja (tidak banyak jumlahnya) dan hanya
dalam waktu tertentu saja –lama dan frekuensinya–
yang dapat mengatasi godaan yang ditimbulkan keadaan
ini. Kalau orang-orangnya (pasangan yang sama),
beberapa kali mengalami keadaan ini, godaan untuk
berhubungan seperti suami isteri akan sulit untuk
dielakkan.
Terhadap masalah-masalah di atas lazimnya diajukan
solusi dengan pendekatan individual: memperkuat iman
melalui agama seperti pesantren kilat, retreat, konsultasi
dengan psikolog, atau ceramah seksolog. Solusi-solusi
ini hanya mengatasi gejala, bukan akar masalahnya,
sehingga akan banyak bermunculan lagi dan dijadikan
“komoditas tetap” oleh beberapa pihak, terutama media
massa, berupa perbincangan atau penceritaan dalam
buku, sinetron, dan film. Sudah saatnya, pendekatan
solusi individual dilengkapi dengan pendekatan solusi
sistemik/ struktural/ institusional/ legalistik dengan
membuat dan memperkuat hukum berupa undangundang serta rincian
peraturan pelaksanaannya.
Dari kelima contoh penerapan MAAMS di atas dapat
dinyatakan bahwa akar masalah dari berbagai masalah
sosial kemanusiaan tersebut adalah: pertama, “korupsi
3Ta (harta, tahta, cinta/hubungan pria-wanita)”, dan ini
berimpit dengan yang
kedua, “pengetahuan yang tidak
memadai (utuh-menyeluruh-mewujud) tentang ‘yang
benar’ dan ‘yang baik’, pada individu maupun sistem,
berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar
(motivasi) 3Ta”. Korupsi 3Ta berarti tindakan
memenuhi motivasi atau kebutuhan dasar 3Ta secara
tidak halal, tidak bermoral/etis, tidak legal, tidak
benarbaik-bersih –secara singkat dan padat: tidak “jujur”.
Korupsi berasal dari bahasa Latin “corruptio” yang
memiliki arti: hal merusak, membuat busuk,
pembusukan, kemerosotan.
Corruptor berarti perusak,
pembusuk, penggoda, pemerdaya; dan corruptrix:
wanita pemerdaya (Prent, 1969). Harta: segala sesuatu
yang secara moral dan legal dapat diuangkan. Tahta:
segala sesuatu yang menimbulkan/ mengandung
kekuasaan, kedaulatan, pengaruh, penghargaan, hormat,
kekaguman, ketundukan, kepatuhan; wujud utamanya
adalah jabatan, kewenangan, status/kedudukan sosial.
Cinta/hubungan pria wanita (yang paling potensial
bermasalah) adalah: kondisi dengan tingkat tertentu
yang menyebabkan/memudahkan terjadinya hubungan
pria-wanita laksana suami-isteri (kondisi dimaksud
adalah seperti ruangan terkunci, tertutup rapat, atau
tempat yang “sepi”).
Korupsi harta adalah hal yang membuat keutuhan harta
(yang sudah atau bahkan akan dimiliki) menjadi
merosot, berkurang nilainya (Contoh analisis cukup
jelas).
Korupsi tahta adalah hal yang membuat keutuhan tahta
(yang sudah atau akan dimiliki) menjadi merosot,
membusuk, rusak kualitasnya atau rusak pengaruhnya
(Contoh analisis cukup jelas). Korupsi tahta yang paling
strategis berupa kesalahpimpinan.
Korupsi cinta/hubungan pria-wanita: hal yang membuat
keutuhan cinta (yang sudah atau akan dimiliki) menjadi
merosot, membusuk atau rusak karena mengutamakan
nafsu birahi dan kenikmatan fisik sambil mengabaikan
kesucian, rasa hormat, tanggung jawab, perlindungan,
pemeliharaan, pengembangan, dan pemekaran diri yang
berjangka waktu ‘hari ini dan seterusnya’. Korupsi cinta
sangat mudah terjadi bila pria dan wanita bukan
mahram, terutama berduaan, berada di ruangan terkunci,
tertutup rapat, atau tempat sepi.
Adanya seseorang ─
sebagai individu ataupun sebagai
pejabat publik ─ yang melakukan korupsi atas salah satu
dari 3Ta berarti pada saat yang sama menunjukkan
“tidak memadainya pengetahuan yang utuh-
menyeluruh-mewujud tentang ‘yang benar’ dan ‘yang
baik’ pada individu tersebut maupun sistemnya
berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar
(motivasi) 3Ta.” Tidak memadainya ‘pengetahuan’ itu
mungkin disebabkan oleh: orang, sistem, atau kedua-MAKARA,
SOSIAL HUMANIORA, VOL. 12, NO. 2, DESEMBER 2008: 72-81 80
duanya belum memilikinya, atau pengetahuan yang ada
sudah usang atau tidak sesuai lagi.
Korupsi 3Ta, sangat mungkin saling berhubungan,
bahkan korupsi harta hampir selalu dipermudah oleh
korupsi tahta (penyalahgunaan wewenang, kolusi dan
nepotisme). Korupsi tahta sekaligus cinta antara lain
menimbulkan relasi jender yang tidak adil, poligami
yang bukan darurat, serta pelecehan seksual. Korupsi
cinta demi harta antara lain berwujud praktik pelacuran,
pelacuran terselubung, wanita/pria simpanan dan
panggilan, serta “cewek tender” dan sejenisnya.
Seseorang pria yang mempunyai wanita simpanan,
mengkorupsi cinta isterinya, dan ia giat mencari harta
untuk mencukupi mereka. Korupsi 3Ta dapat dilakukan
dengan suap (atau iming-iming) harta, tahta, dan cinta
untuk memperoleh 3Ta yang lebih banyak/besar lagi.
Dalam perspektif agama, korupsi 3Ta merupakan
indikasi lemahnya Takwa, atau bisa juga disebut
Korupsi Takwa. Dalam perspektif kebudayaan, korupsi
3Ta melunturkan keadaban masyarakatnya. Dan dalam
perspektif komunikasi, korupsi 3Ta menjadikan
komunikasi bermuatan kebohongan sehingga
komunikasi dan komunikatornya tidak komunikatif,
sekalipun amat fasih dan memikat.
Penelusuran mendalam dengan MAAMS yang
mengidentifikasi korupsi 3Ta sebagai akar masalah
sosial dan kemanusiaan menunjukkan adanya kesamaan
dengan kajian mendalam dari Marx, Nietzche, dan
Freud, bahwa kebutuhan ekonomi, kehendak berkuasa,
dan libido merupakan dorongan utama hidup manusia.
Demikian pula kesamaan pernyataan Mircea Eliade
bahwa manusia merupakan makhluk religius (homo
religiosus) (Mangunhardjono, 1982) untuk konsep
Takwa.
3. Solusi Dasar
Solusi dasar harus sesuai dengan akar masalahnya,
yakni korupsi 3Ta atau motivasi memenuhi kebutuhan
dasar harta, tahta, dan cinta asmara (hubungan priawanita).
Terjadinya korupsi menunjukkan adanya
“pengetahuan yang tidak memadai (utuh-menyeluruhmewujud) tentang
‘yang benar’ dan ‘yang baik’, pada
individu maupun sistem, berkaitan dengan pemenuhan
kebutuhan dasar (motivasi) 3Ta”.
a. Solusi dasar korupsi harta
Setiap orang dan lembaga harus dapat membuktikan
atau dibuktikan asal usul hartanya secara sah, apabila
tidak harta tersebut disita, dan yang bersangkutan
dipidana sesuai dengan nilai harta tersebut.
b. Solusi dasar korupsi tahta
- Setiap calon pemimpin dan calon wakil rakyat
ditelusuri riwayat hidupnya untuk diketahui kadar
integritas kepribadiannya,
- Setiap kekuasaan harus dikendalikan dengan uji
logika dan uji kejujuran.
c. Solusi dasar korupsi cinta
Pria dan wanita yang bukan mahram tidak boleh
berada (terutama berduaan) di ruang terkunci, tertutup
rapat, dan tempat yang sepi atau terpencil.
4. Penutup
Kelima contoh di atas mudah-mudahan cukup
menjelaskan bagaimana MAAMS dapat diterapkan
untuk menelusuri dan mengidentifikasi akar dari
berbagai masalah sosial dan kemanusiaan. Penerapan
MAAMS memiliki sejumlah manfaat sebagai berikut:
(a) Menyediakan alternatif metode berpikir
(mendalam) yang disertai dengan model atau
peraga visual.
(b) Memberi dasar epistemologis bagi penerapan mixed
methodology ataupun multimethods.
(c) Memfasilitasi pengkajian masalah dan solusi
fundamental secara interdisipliner, multidisipliner,
transdisipliner; berpikir out of the box.
(d) Memperbaiki, mempercepat, meningkatkan, dan
meluruskan proses berpikir, diskusi, perbincangan,
dsb. yang bermaksud mencari solusi. Penerapan
lebih lanjut bahkan diperkirakan dapat mengurangi
kerumitan analisis masalah, meringkas masalah,
dan mempersingkat masa pembelajaran.
(e) (Bayangkan jika setiap 3-5 sel dalam tabel dikemas
sebagai satu topik talk
show atau diskusi atau
bahkan penelitian, betapa banyak topik, waktu,
tenaga, pikiran, dan biayanya. Dan inipun belum
tentu sampai pada akar penyebab masalah maupun
solusinya. Dengan MAAMS
cukup 2-3 kali
kesempatan saja, salah satunya khusus membahas
solusi). Untuk situasi Indonesia pascakrisis 1997
yang menuntut pemulihan atau bahkan percepatan,
penerapan MAAMS akan sangat membantu.
(f) Menghindarkan kekeliruan identifikasi sebab/akar
masalah (dari gejala masalah). Hal ini dapat
diterapkan secara praktis untuk melengkapi
Collaborative Learning dan
Problem-Based
Learning dalam Program Dasar Pendidikan Tinggi
di UI. Tanpa MAAMS, mahasiswa yang
menerapkan PBL, khususnya untuk masalah sosial
kemanusiaan, hanya tahu masalah tetapi bukan
akarnya, sehingga dikhawatirkan menjadi calon ahli
masalah-masalah, itupun bukan masalah yang
dasar, dan juga tanpa solusi yang fundamental.
(g) Mengkategorikan masalah secara hirarkhis:
permukaan, tengah, dan dasar. Hal ini secara
praktis dapat digunakan untuk menyusun agenda
dan program penelitian dari visi
research
university, dan menyeleksi daftar usulan penelitian.
(h) Mempermudah pengkategorian penyelesaian
masalah secara strategis dan kronologis 81 MAKARA, SOSIAL
HUMANIORA, VOL. 12, NO. 2, DESEMBER 2008: 72-81
(menghasilkan jenjang solusi suatu masalah):
jangka pendek, menengah, panjang.
(i) Membedakan mana kegiatan yang seharusnya
sementara saja dan mana yang harus berkelanjutan
(mencegah vested interest “aktivitas sosial” tertentu
yang lebih menguntungkan pelakunya (popularitas
dan finansial).
(j) Mengajak penggunanya berpikir dengan
menyertakan nilai-nilai dan norma kebenaran dan
kebaikan, mengarahkan pemikiran pada kebenaran
dan kebaikan perilaku, bukan hanya sukses
pencapaian teknis.
Sebagai catatan terakhir perlu dikemukakan bahwa
MAAMS ini merupakan suatu bagian saja dari cara
berpikir tertentu yang ada pada penulis yang boleh jadi
mengandung kesatuan ontologi, epistemologi, aksiologi,
dan paradigma tertentu pula.
Daftar Acuan
Bagus, L. (1991). Metafisika. Jakarta: Gramedia.
Bakker, A. (1986). Metode-Metode Filsafat. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Budi Hardiman, F. (1990).
Kritik Ideologi: Pertautan
Pengetahuan dan Kepentingan. Yogyakarta: Kanisius.
Chang, R.Y. & Keith K.P. (2003). Langkah-langkah
pemecahan masalah, terj. Abdul Rasyid. Jakarta:
Penerbit PPM.
Cooke, S. & Slack, N. (1991). Making management
decisions, 2nd ed. Englewood Cliffs. NJ.: Prentice Hall
Inc.
Gaspers, V. (2007). team
oriented problem solving,
panduan kreatif solusi
masalah untuk sukses. Jakarta:
Gramedia.
Harsono P., A. (2002). “Menjadi insan akademik
seutuhnya”, makalah untuk bahan
Buku Panduan
Mahasiswa Baru UI.
Heryanto, A. (1999). “Ilmu sosial indonesia krisis
berkepanjangan”, Kompas, 18 November, halaman: 4.
Herry-Priyono, B. (2002).
Anthony Giddens: Suatu
pengantar. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Hayon, Y.P. (2005).
Logika, prinsip-prinsip bernalar
tepat, lurus, dan teratur. Jakarta: ISTN.
Kartasasmita, H. (1994). “Rubrik
pajak”, Kompas.
Kwik Kian Gie. (2004). “KKN
akar semua
permasalahan bangsa”,
Kompas, 4 Agustus, halaman:
4.
Magnis-Suseno, F. (1989).
Etika dasar: Masalahmasalah pokok filsafat moral. Yogyakarta:
Kanisius.
Mangunhardjono. (1982). “Homo religiosus menurut
Mircea Eliade” dalam M. Sastrapratedja Manusia
multidimensional: Sebuah renungan filsafat. Jakarta:
Gramedia.
Muhadjir, N. (2001).
Filsafat ilmu: Positivisme,
postpositivisme, dan postmodernisme. Yogyakarta:
Rake Sarasin.
Rapar, J.H..(1996). Pengantar filsafat. Yogyakarta:
Kanisius.
Prent, K., Adisubrata, J., Purwadarminta, W.J.S. (1969).
Kamus latin. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar